
JOGJA, tiras.co– Di tengah ancaman terhadap eksistensi Indonesia dari ideologi luar yang ahistoris, kesadaran kebangsaan semua suku di Indonesia harus semakin menguat dan mendalam. Pasalnya, ancaman bukan lagi sekadar isu tetapi benar-benar sudah muncul dan nyata.
”Dan dalam proses politik kebangsaan yang dinamis selanjutnya, ungkapan perang Aceh, cakap Minang, kuasa Jawa dalam realitas sosial-politik tidak akan berpengaruh lagi untuk menduduki presiden atau wakil presiden di Indonesia. Siapapun WNI punya hak sama untuk berada pada posisi itu,” tandas guru bangsa, Ahmad Syafii Maarif atau yang kerap disapa Buya, beberapa waktu lalu.
Buya menyampaikan hal tersebut ketika menyampaikan orasi kebangsaan dan kebudayaan memperingati Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK di Jogja Plaza Hotel. Acara yang dikemas dalam bentuk seminar dan diskusi kelompok memberi masukan serta kritik pada Jokowi-JK selama menjalankan tugasnya.
Bagi Buya, posisi presiden dan wakil presiden bisa diduduki siapa saja dengan syarat memenuhi kriteria sebagai negarawan petarung dengan visi keadilan yang tajam, jujur. Itu semua untuk meneruskan estafet kerja besar yang sedang dilakukan Jokowi-JK.
Menurutnya bangsa Indonesia harus siap menerima kedatangan seorang negarawan dari Pulau Miangas atau Pulau Rote, dari Ternate atau Ende untuk memimpin. Pertimbangan suku untuk memilih pemimpin tidak relevan lagi.
”Karakter yang kuat dan komitmen yang jujur kepada prinsip keadilan harus menjadi faktor utama dalam proses perpolitikan nasional untuk memilih presiden maupun kepala daerah,” tegas Ketua PP Muhammadiyah 2000-2005 itu.
Ideologi Luar
Di depan peserta yang datang dari seluruh Indonesia, Buya mengatakan pula setelah 72 tahun merdeka, semestinya kesadaran kultural sebagai bangsa sudah semakin kokoh. Tidak perlu lagi muncul isu-isu negatif dan destruktif seperti ancaman daerah tertentu yang ingin melepaskan diri dari ikatan kebangsaan Indonesia.
Isu semacam itu menurutnya tak ada lagi karena perhatian negara secara sungguh-sungguh terhadap pembangunan daerah di luar Jawa baru menjadi masif di era Jokowi-JK. Ia mengapresiasi langkah-langkah pemerintah meskipun juga banyak kelemahan di sana-sini.
”Memang, gangguan bahkan ancaman terhadap keberadaan Indonesia masih ada karena pengaruh ideologi luar yang diimpor oleh kelompok-kelompok sempalan yang ahistoris maupun kelalaian negara untuk menegakkan keadilan sebagaimana sila kelima Pancasila,” tegas Buya.
Pada acara yang bertajuk ”Bisikan dari Jogja”, tokoh-tokoh lokal maupun nasional membahas serius tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK. Mereka melihat pula adanya kekuatan koruptif yang memerlukan lembaga penegakan hukum mulai dari KPK, Kejaksaan, Polri dan Kehakiman. Di bidang politik, mereka melihat manipulasi politik seperti kampanye yang memainkan isu primordial, komunis, kelompok radikal dan lainnya. Perlu peraturan yang jelas dan tegas mengenai hal itu.
yudhistira