
JOGJA, tiras.co – Memanasnya di Rakhine terkait kondisi Rohingya mendapatkan perhatian dari banyak kalangan termasuk para akademisi. Mereka menilai apa yang terjadi di sana bukan semata-mata berkaitan dengan isu agama, khususnya Islam, namun lebih kompleks sehingga Pemerintah Indonesia harus berhati-hati.
”Myanmar selama ini sangat tertutup. Kendati demikian alhamdulillah Indonesia bisa diterima dan pendapatnya juga dihargai sehingga tidak perlu demonstrasi di Borobudur,” tandas Dosen Hubungan Internasional UMY, Ali Muhammad SIP MA PHD, Selasa (5/9/2017).
Ia menyampaikan pendapatnya dalam Focus Grup Discussion (FGD) “Rohingya dalam Isu Kemanusiaan, Agama dan Politik”, yang berlangsung di Ruang Sidang Direktur Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Menurutnya kesulitan negara-negara ASEAN yang tak bisa melakukan bantuan karena masing-masing negara ASEAN memiliki kebijakan sendiri. Mereka juga terkendala aturan mengenai intervensi suatu negara, akibatnya semua bersikap hati-hati. Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia berani melakukan terobosan karena menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif.
Guru besar Hubungan Internasional UMY, Prof Dr Tulus Warsito mengatakan kasus yang terjadi di Rohingya kurang relevan jika hanya dikatakan berkaitan dengan isu agama Islam. Namun lebih kompleks lagi, kasus Rohingya merupakan masalah pluralisme, perbatasan dan kewarganegaraan.
”Tiga hal itu mengakibatkan masyarakat Rohingya mengkristal menjadi gerakan separatis yang menginginkan Rakhine menjadi negerinya sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, harus diangkat menjadi isu internasional,” ujarnya.
yudhistira